Sunu, Role Model Ekowisata di TTS
*Oleh : Omega DR Tahun
Dosen STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA
Pariwisata sebagai Prime Mover Ekonomi
Kondisi tanah dan alam di Sunu tidak jauh berbeda dengan sebagian besar wilayah lain di daratan Timor. Tanah yang berbatuan, gersang dihiasi dengan perbukitan savana yang berwarna hijau dikala hujan dan berubah menjadi coklat saat kemarau menghampiri, wilayah ini tidak terlalu subur ditumbuhi tanaman. Sektor pertanian tidak berkembang maksimal karena wialayah yang kering, tandus dan sulit air. Walaupun mayoritas profesi masyarakat di wilayah ini adalah petani, namun mereka lebih dikategorikan sebagai petani subsisten, yaitu pertanian yang bersifat self-sufficiency (swasembada) yang mana petani hanya fokus pada usaha pengembangan bahan makanan dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan keluarga dalam jangka waktu tertentu. Sebagian besar hasil pertanian tidak diperdagangkan, masyarakat hanya mempersiapkan hasil pertanian untuk hidup selama 1 tahun ke depan. Musim tanam hanya dilakukan 1 kali setahun, teknologi pertanian masyarakat juga masih tradisional.
Kondisi lahan Sunu yang kering tentunya tidak memungkinkan untuk mengembangan ekonomi masyarakat desa di sektor pertanian, diperlukan alternatif lain dalam memacu pertumbuhan ekonomi, salah satunya adalah pengembangan pariwisata. Bentang alam perbukitan yang indah, udara yang dingin, kearifan lokal yang terjaga serta habitus masyarakat yang kental dengan budaya, sangat memungkinkan jika sektor pariwisata dapat menjadi prime mover ekonomi. Banyak peluang usaha yang dapat dikembangkan jika pariwisata dikelola dengan baik, seperti: bisnis transportasi, bisnis penginapan berupa villa/homestay, rumah makan, bisnis ole-ole, hasil pertanian, hasil peternakan, bisnis paralayang, wisata budaya (praktik tenunan: pemintalan benang, pewarnaan benang dan proses menenun), dan lainnya.
Pengembangan Ekowisata di Sunu
Sebagai desa yang terletak di atas perbukitan dengan pemandangan alam yang indah serta adat budaya masyarakat yang masih terjaga dapat menjadikan Sunu sebagai ekowisata zona tradisional. Sunu dapat menjadi museum alam yang menyediakan banyak hal tentang ekositem alam dan relasinya dengan manusia dan budaya. Sunu tidak hanya dikembangkan sebagai destinasi wisata, namun dapat menjadi sekolah alam dan sekolah budaya.
Ekowisata menjadi pilihan karena konsep kegiatan pariwisatanya yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Alam dan budaya di Sunu masih sangat terjaga, oleh karena itu pendekatan harus lebih ramah terhadap lingkungan.
Role Model Ekowisata
Sebagaimana Desa Ponggok (Klaten), Desa Waturaka (Ende) dan Desa Ubud (Gianyar) yang terpilih menjadi 3 dari 10 desa wisata terbaik di Indonesia versi Kementrian Desa Tertinggal pada tahun 2017. Sunu mempunyai potensi untuk itu, berbagai keanekaragaman hayati dan budaya yang tersimpan di wilayah ini dapat dikembangkan untuk menjadi salah satu role model desa wisata di TTS dan sekitarnya.
Dalam rangka menyiapkan role model ekowisata, penguatan kapasitas masyarakat perlu diupayakan, berupa: kelembagaan kelompok masyarakat melalui pendampingan intensif, pengembangan ekonomi kreatif, promosi usaha dan produk serta mengkomunikasikan pada berbagai pihak dalam pengembangan ekowisata di desa Sunu. Keterlibatan berbagai pihak penting dalam memperlancar program pengembangan desa wisata sesuai yang diharapkan.
Kehadiran Patung Jokowi di Desa Sunu memberikan keuntungan tersendiri bagi desa tersebut dan desa desa satelit di sekitarnya. Ada potensi multiplier effect bagi masyarakat. Kondisi ini diharapkan dapat menstimulus kegiatan ekonomi masyarakat, penciptaan berbagai peluang usaha, dan meningkatkanya rekrutmen tenaga kerja. Harapannya kondisi ini dapat menekan keinginan penduduk usia produkti yang selama ini memilih bermigrasi ke kota/ derah lain atau bahkan memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI/TKW).
Dampak Ekowisata
Setiap pengembangan pariwisata tidak hanya memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat sekitar, namun juga memberikan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan, terutama pada destinasi wisata yang menjadikan sumber daya alam sebagai daya tarik utamanya.
Dari berbagai pengalaman maupun pemberitaan media seringkali diinformasikan tentang efek negatif akibat wisata, hingga beberapa destinasi harus ditutup sementara karena perilaku para pengunjung yang cenderung merusak/ mencederai alam. Hal ini yang kemudian oleh Tiani dan Baquni (2019) menguraikan bahwa sektor pariwisata yang baik harus menerapkan konsep berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk meminimalisir timbulnya dampak-dampak negatif kepariwisataan. Salah satu bentuk pariwisata berkelanjutan ialah ekowisata. Ekowisata merupakan suatu bentuk kegiatan wisata ke area-area alami dengan tujuan untuk mengkonservasi lingkungan dan budaya serta mensejahterakan masyarakat lokal. Selanjutnya, Tsaur dan Lin (2006) mengungkapkan bahwa ekowisata juga dapat mendegradasi sumber daya alam yang dijadikan sebagai daya tarik utama apabila tidak dikelola dengan tepat menggunakan prinsip-prinsip pelestarian yang bertanggungjawab. Terlebih pengelolaan yang salah dapat menjadi ancaman bagi keberadaan sumber daya alam.
Upaya lain yang dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan negatif terhadap lingkungan adalah dengan melakukan pengelolaan terhadap limbah padat, khususnya sampah. Untuk sampah, upaya yang dilakukan masih sebatas permukaan saja, seperti melakukan pembersihan sampah di kawasan ekowisata seminggu dua kali (2x). Kemudian memisahkan sampah antara sampah plastik, sampah kertas, dan sampah organik. Dengan kata lain, sampah di kawasan ekowisata harus menerapkan 3R (Reuse, Reduce, Recycle).
Komponen terakhir yang digunakan dalam mengurangi dampak kerusakan lingkungan ialah dengan mengendalikan kegiatan wisata dan prinsip kedua ialah membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan. penghargaan dan kesadaran atas lingkungan adalah melakukan penanaman pohon.
Sustainable Tourism
Sebagai destinasi wisata baru, Sunu mempunyai peluang pasar di bidang pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism. Konsep pariwisata berkelanjutan kini sedang menjadi sebuah role model dalam pengembangan pariwisata di Indonesia. Terlebih peluang pasarnya pun cukup besar. Peluang Sunu untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan itu sangat besar. Mengingat letaknya yang strategis dengan alamnya yang mempesona. Secara geogrtafis, Sunu berada di tengah/selatan Pulau Timor, aksesnya mudah dijangkau dari arah Kabupaten Malaka, Belu, TTU, maupun Timor Leste.
Pariwisata berkelanjutan lebih bertumpu pada kearifan lokal di sebuah kawasan tertentu. Kearifan dan kebudayan lokal menjadi daya tarik utama, disamping potensi wisata alam yang juga terdapat di wilayah tersebut. Dengan pariwisata berkelanjutan ini, semuanya jadi lebih selaras. Budaya lokal akan tetap berlanjut, habitat alam dan keanekaragaman hayati juga tetap terjaga. Ini menjadi daya tarik tersendiri.
Disisi lain Kita berharap pemerintah tak sekadar fokus pada penanganan infrastruktur pariwisata semata. Namun sumber daya manusia (SDM) pengelola kawasan wisata juga harus menjadi perhatian. Pariwisata berkelanjutan ini kan tidak bisa hanya dari satu pihak saja. Tapi semua pihak terlibat. Kita juga ingin pariwisata yang berasal dari hati,bukan semata-mata money oriented. Pengembangan SDM pengelola pariwisata menjadi hal yang mutlak. Sederhananya pembenahan perilaku. Supaya wisatawan yang berkunjung, entah itu lokal maupun mancanegara itu bisa betah. Sehingga pariwisata berkelanjutan ini bukan sekadar retorika, tapi benar – benar terwujud.
Keterlibatan Masyarakat
Masyarakat menjadi subjek dalam pengembangan kepariwistaan, dengan demikian masyarakat yang akan peduli dan mengelolannya. Kepedulian masyarakat terhadap kawasan ekowisata diketahui dari keaktifan masyarakat dalam melakukan pemeliharaan kawasan ekowisata, aktif mengkampanyekan konservasi lingkungan, aktif bergotong royong, dan forum musyawarah. Upaya sederhana yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial ialah dengan melakukan forum pertemuan, baik sifatnya formal maupun non formal. Di Desa Sunu perlu diadakan forum desa yang dihadiri oleh masyarakat maupun pemangku kepentingan dan pelaku wisata, yang tujuannya untuk membahas dan mengawal kegiatan kepariwisataan di wilayahnnya.
Masyarakat harus bermitra dalam mengawal kegiatan kepariwisataan yang ada, mencegah terjadinya kerusakan alam, perilaku tidak senonoh dan perilaku vandalisme yang seringkali diekspresikan oleh para wiasatawan. Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab secara kolektif dalam menjaga alam serta objek objek wisata yang telah dibangun.
Pembangunan Patung Jokowi dan objek wisata lain di Sunu dibangun secara swadaya /gotong royong oleh, dari dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, sudah semestinya seluruh objek dan fasilitas yang ada harus dijaga demi kelancaran kegiatan kepariwisataan di masa yang akan datang. Sunu harus menciptakan citra yang baik ke mata wisatawan sehingga siapapun nyaman selama berwisata ke wilayah tersebut.