Tantangan Pembangunan Wisata di TTS
*Oleh : Omega DR Tahun
Dosen STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA
Kabupaten Terluas
Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan kabupaten terluas dengan jumlah penduduknya terbanyak di daratan Timor bahkan di NTT, namun masih kurang mendapatkan perhatian dalam pembangunan. Kabupaten ini beradar di selatan Indonesia dan berbatasan langsung dengan laut lepas yang menghubungkan antara Indonesia dengan Australia, namun TTS belum menjadi kabupaten yang mendapatkan anggaran pembangunan perbatasan.
Luas wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan sekitar 3.955,36 kilometer persegi, yang terdiri dari 32 kecamatan dan 266 desa dan 12 kelurahan. Jumlah penduduk di kabupaten ini pada tahun 2018 sebanyak 463.980 jiwa (sumber:website resmi Kabupaten TTS).
Kemiskinan masih menjadi persoalan pelik di wilayah ini. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) NTT 2019 menyebutkan bahwa jumlah angka kemiskinan di TTS sebanyak 130.031 jiwa. Angka ini merupakan tertinggi di NTT dibandingkan dengan 21 kabupaten/kota lainnya.
Kemiskinan menjadi tantangan tersendiri bagi seorang pemimpin dalam memacu pertumbuhan pembangunan di suatu wilayah. Dibutuhkan perhatian pemeritah dalam menata pemerintahan yang good governance untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor).
Persoalan kemiskinan tidak hanya dapat diselesaikan melalui kemauan politik (political will) pemerintah dan stake holder terkait, namun juga komitmen yang kuat dari masyarakat (political society). Kegiatan pemberantasan kemiskinan harus melibatkan masyarakat sebagai subjek bukan objek. Keterlibatan seluruh elemen diharapkan dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan di Kabupaten TTS.
Kesiapan SDM
Salah satu unsur penyebab terhambatnya pembangunan di suatu daerah adalah rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia). Indikator yang sering digunakan untuk mengukur pembangunan manusia di suatu negara / daerah adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menyebutkan bahwa ada 5 propinsi yang menduduki posisi ketiga terendah pembangunan manusia di Indonesia (Indeks Pertumbuhan Manusia/IPM), yaitu Papua sebesar 60,84, diikuti Provinsi Papua Barat 64,70, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 65,23, Provinsi Sulawesi Barat 65,73, dan Provinsi Kalimantan Barat 67,65.
Nusa Tenggara Timur masih berjuang dalam meningkatkan kualitas pembangunan manusianya menuju manusia unggul. Laporan BPS NTT 2018 menyebutkan bahwa dari 23 Kabupaten Kota di NTT sebagian besar IPM nya rendah, dan salah satu kabupaten yang IPM-nya rendah adalah Timor Tengah Selatan (TTS). Laporan BPS Nasional 2017 juga menyebutkan bahwa dari total 514 Kabupaten/Kota se-Indonesia, Kabupaten TTS menduduki posisi ke 475 pembangunan IPM terendah, yaitu hanya 61,08.
Dalam mengukur IPM di suatu daerah, terdapat 3 aspek yang dikaji, yaitu kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. IPM menjadi cerminan hasil pembangunan yang berfokus pada sumber daya manusia. Pembangunan manusia menjadi satu keniscayaan bagi suatu daerah, karena sejatinya pembangunan tidak hanya dilihat dari capaian fisik saja tetapi juga dari sudut manusianya.
Era persaingan global menuntut agar produktifitas masyarakat ditingkatkan. Kata kunci untuk memenangkan persaingan global adalah pembangunan sumber daya manusia. Penguatan sumber daya manusia menuju manusia unggul berkorelasi dengan peningkatan produktivitas kerja, dalam memenangkan persaingan di tengah perubahan-perubahan yang berlangsung masif dalam dunia bisnis, ekonomi politik dan budaya.
TTS sebagai kabupaten yang berkembang dituntut untuk berbenah dan tetap konsisten menaikkan angka pembangunan manusia melalui kegiatan kegiatan produktif masyarakat. Akses masyarakat terhadap pendidikan harus ditingkatkan, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pun harus diberi ruang dan aktifitas pertumbuhan ekonomi masyarakat harus dipacu guna meningkatkan daya beli masyarakat.
Pilihan strategi pembangunan dengan fokus utama pembangunan sumber daya manusia sangat tepat untuk menjawab tantangan bagi TTS. Mengingat, era 4.0 menuntut sumber daya manusia yang kreatif, terampil dan unggul agar memiliki daya saing yang tinggi sehingga memiliki konstribusi dalam pembangunan.
Kemajuan pembangunan kabupaten TTS tidak hanya membutuhkan jumlah SDM yang banyak, kualitasnya juga tak kalah penting. Sebagaimana daerah berkembang, jumlah tenaga kerja di TTS surplus, namun secara kualitas hal ini perlu mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Peningkatan kualitas SDM masih menjadi tugas berat daerah ini dalam meningkatkan daya saing masyarakatnya di level yang lebih tinggi.
Culture Matters
Dalam bukunya, seorang Filsuf Kontemporer Samule P. Huntington menulis sebuah dalil yang menyatakan bahwa faktor terbesar penyebab kegagalan pembangunan di suatu negara/wilayah adalah Culture Matters (masalah budaya). Jika pemimpin dan masyarakatnya masih hidup dengan mentalitas dan budaya pasrah, inferior, pesimis, maka akan sulit pembangunan di wilayah ini bisa bergerak maju.
Berbagai pemahaman budaya yang menolak perubahan masih ada dan hidup bersama-sama dengan masyarakat. Kebiasaan budaya yang kontra produktif terhadap kemajuan berdampak pada pola pikir dan tindakan yang seringkali menghambat pembangunan. Kebiasaan kebiasaan ini lalu dibawa dalam segala sendi kehidupan, tidak hanya masyarakat namun, dalam ruang pelayanan publik, lembaga pemerintahan eksekutif maupun legislatif.
Keimanaan dan nilai hidup yang dianut suatu masyarakat akan merubah pola pikir dan membentuk kebiasaan hidupnya. Masyarakat Jepang, Korea dan Cina adalah contoh negara negara yang diwariskan budaya yang pro terhadap pembangunan. Nilai hidup seperti; kedisiplinan, kejujuran, keberanian, kesantunan, kesopanan, kerja keras, saling menghargai dan berbagai nilai hidup yang dianut masyarakatnya telah membuat negaranya menjadi besar dan disegani dunia.
Peluang TTS bangkit dari ketertinggalan terbuka lebar, hal ini tergantung pada good will (niat baik) masyarakat dan pemerintah yang berkomitmen untuk membangun budaya yang pro terhadap kemajuan pembangunan. Nilai budaya masyarakat setempat yang pro terhadap pembangunan harus dirawat dan dikembangkan, sedangkan nilai budaya yang bersifat destruktif perlu dieliminasi. Jika suatu masyarakat memilki way of life yang benar, maka peluang untuk bersama-sama memajukan pembangunan akan semakin terbuka. Nilai hidup ini tidak hanya menjadi narasi, wacana atau sekedar simbol, namun harus menjadi way of life (pandangan hidup) masyarakat.
Character Building
Menurut KBBI, karakter bisa didefinisikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, akhlak yang ada pada diri seseorang yang nantinya akan membedakan seseorang tersebut dengan orang lainnya. Selanjutnya, menurut Maxwell karakter pada dasarnya jauh lebih baik daripada dengan sekedar perkataan. Selain itu, karakter ialah pilihan yang dapat menentukan sebuah tingkat kesuksesan dari seseorang.
Membangun karakter (character building) adalah suatu upaya untuk membina, memperbaiki dan membentuk sifat, budi pekerti, ahklak yang ada pada diri seseorang yang nantinya akan membedakan dirinya dengan orang lain.
Character building sering kali didengar dan diperdengarkan oleh berbagai pimpinan organasasi dan para politisi. Di masa momen ungkapan ini kedengarannya cukup klise dan nyaris tanpa makna. Dalam implementasinya ungkapan ini belum luas digelorakan. Ungkapan ini masih menjadi sebuah retorika, entah seperti apa para pemimpin mengiplementasikannya? Sebuah komunitas masyarakat seyogyanya memiliki karakter khas yang di dalamnya mencerminkan jati diri masyarakat tersebut.
Masyarakat di Kabupaten TTS memiliki karakter yang unik dan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sejarah pendirian Kabupaten ini digagas oleh 3 Kerajaan/ Swapraja; Amanatun (Onam), Amanuban (Banam) dan Mollo (Oenam). Di awal kemerdekaan, ketiga swapraja ini bersepakat untuk disatukan dalam sebuah kabupaten yang dikenal saat ini sebagai Timor Tengah Selatan.
Karakter masyarakat dari ketiga swapraja (Amanatun, Amanuban dan Mollo) pun berbeda-beda antara satu dengan lainnya, dan karakternya telah menjadi jati diri yang masih melekat kuat hingga saat ini. Secara umum karakternya sama, namun ada beberapa ciri khusus yang khas dan membedakan dari ketiga masyarakat ini. Alam dan lingkungan turut membentuk karakter dari masing masing masyarakat.
Pada kesempatan ini Penulis mencoba untuk mengulas sebagian kecil dari karakter positif yang dimiliki oleh masing masing masyarakat di ketiga wilayah swapraja. Pertama, Amanatun (Onam); ciri khusus yang dimiliki oleh masyarakat ini adalah berani dan komitmen. Hal ini terlihat dari kebiasaan masyarakatnya dalam berbicara dan bertindak. Konon, dulu kala masyarakat di wilayah ini sering melakukan Teku (merampok) dengan cara yang kejam namun beretika. Teku adalah istilah merampok yang dilakukan secara berkelompok (biasanya puluhan orang), para pelaku akan mengirimkan surat terlebih dahulu kepada pemiliki rumah sebelum dirampok, tujuannya adalah memberitahukan kepada pemilik rumah/kampung agar bersiap-siap sebelum dirampok. Jikalau pemilik rumah membiarkan mereka merampok maka mereka tidak akan mencederai/membunuh pemilik rumah, namun jika pemilik rumah melawan, maka mereka tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan atau pembunuhan. Kegiatan Teku masih terdengar hingga tahun 90-an, namun karena kemajuan pembangunan, akhirnya aksi ini sudah jarang terdengar.
Kedua, Amanuban (Banam); masyarakatnya dikenal pandai dan cerdik. Dalam berkomunikasi dan bersosialisasi, mereka memiliki kelebihan kepandaian dan kecerdikan. Konon, dari berbagai cerita para tetua bahwa masyarakat Amanuban pandai berdiplomasi dan berpolitik. Salah satu bukti sejarah kepandaiannya adalah luas wilayah kekuasaan swapraja Amanuban yang jauh melebihi Amanatun dan Mollo.
Ketiga, Mollo (Oenam); karakter khas masyarakatnya adalah tekun dan pekerja keras. Dilimpahi tanah yang subur dan air yang melimpah dibandingkan dengan Amanuban dan Amanatun, masyarakatnya Mollo dikenal sangat rajin dalam bertani maupun beternak. Hal ini dapat dibutktikan dari hasil bumi, sebagian besar sayuran dan buah buahan di Kabupaten TTS berasal dari wilayah Mollo.
Berdasarkan ulasan karakter dari ketiga masyarakat di TTS, maka Penulis berpedapat bahwa karakter ini adalah kekuatan TTS dalam membangun daerah ini. Karakter ini adalah jati diri TTS yang diharapkan dapat memajukan daerah ini agar mampu bersaing dengan daerah lain di level nasional. Masyarakat Amanatun yang pemberani, masyarakat Amanuban yang pandai dan masyarakat Mollo yang pekerja keras dapat dipadukan menjadi sebuah kekuatan bagi TTS. Sinergi dari berbagai karakter positif ini diharapkan dapat terkonstruksi menjadi jati diri orang TTS yang nantinya dapat membentuk mentalitas manusia TTS sebagai manusia yang ungggul dan memiliki daya saing….