Jakarta : Nuansapublik.Com.
Mata publik belakangan ini disuguhi fenomena paradoksal yang memicu kegelisahan intelektual. Di tengah iklim ekonomi yang menuntut efisiensi dan penghematan, serta data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat angka kemiskinan masih bertengger di sekitar 25,90 juta jiwa pada Maret 2024, kita menyaksikan ironi yang teramat dalam. Para legislator, yang secara konstitusional mengemban amanah sebagai representasi rakyat, justru mempertontonkan arogansi moral dengan wacana kenaikan gaji seraya menikmati kemewahan hiburan, seolah-olah terisolasi dari realitas sosio-ekonomi yang mendera masyarakat.
Jurang yang menganga antara kebijakan dan realitas ini bukan sekadar ketidakpekaan, melainkan manifestasi dari pudarnya empati kolektif di kalangan elite. Aksi-aksi ini bukan sekadar peristiwa artifisial, melainkan cerminan dari kegagalan institusional dalam menginternalisasi nilai-nilai pengabdian. Seolah-olah, panggung politik telah bergeser dari arena perjuangan idealisme menjadi etalase privillege dan hedonisme.
Krisis moral ini berakar pada penyakit kronis yang telah lama menggerogoti struktur bangsa yaitu korupsi. Laporan terbaru dari _Transparency International_ (TI) dalam _Corruption Perception Index_ (CPI) 2024 menempatkan Indonesia pada skor 37 dengan peringkat 99 dari 180 negara. Kendati terjadi perbaikan minor, angka ini tetap menandakan stagnasi progresif dan mengindikasikan bahwa praktik koruptif masih mengakar kuat. Korupsi, dalam esensinya, bukan hanya tentang penyelewengan dana, tetapi juga perampasan hak asasi warga negara untuk mendapatkan keadilan, kesejahteraan, dan masa depan yang bermartabat. Ini adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang terorganisir, meruntuhkan fondasi etika publik dan legitimasi kekuasaan.
Untuk menganalisis fenomena ini, kita dapat merujuk pada pemikiran para filsuf politik. Plato, dalam karyanya _The Republic_, mengutarakan konsep ‘raja filsuf’ (_philosopher king_), di mana seorang pemimpin haruslah individu yang bijaksana, mencintai kebenaran, dan mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan komunal. Ketiadaan atribut-atribut ini pada para wakil rakyat yang kini berkuasa menunjukkan betapa jauhnya kita dari idealisme Platonis. Mereka tidak lagi merepresentasikan kearifan, melainkan oportunisme politik yang kehilangan orientasi moral.
Lebih lanjut, kita bisa melihatnya melalui lensa pemikiran Niccolò Machiavelli. Dalam karnyanya _The Prince_, ia berpendapat bahwa seorang penguasa harus pandai menjaga ilusi kebajikan di mata publik, bahkan jika tindakannya pragmatis dan tidak etis. Namun, apa yang kita saksikan hari ini adalah kegagalan total dalam menjaga citra tersebut. Mereka tidak hanya bertindak tidak etis, tetapi juga secara gamblang mempertontonkan arogansi, seolah-olah tidak ada lagi kebutuhan untuk menjaga ilusi. Hal ini mengindikasikan tingkat impunitas dan jarak yang signifikan antara para elite dan rakyat yang mereka wakili.
Maka, perayaan dan wacana kenaikan gaji di tengah kesulitan rakyat adalah epilog dari sebuah drama yang berpusat pada kegagalan etika politik. Ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanah. Tulisan ini adalah sebuah agitasi intelektual, sebuah seruan untuk mengkritisi dan merefleksikan kembali hakikat kekuasaan. Mari kita menuntut akuntabilitas dan menolak sandiwara yang merendahkan akal sehat. Sebab, jika publik membiarkan panggung ini dikuasai oleh mereka yang kehilangan moralitas, maka kedaulatan rakyat hanyalah sebatas fatamorgana…(..)